Selasa, 07 Juni 2016

Memaknai Hari Buda Wage Kelawu di Zaman Uang


Banyak orang menyebut sekarang ini zaman uang. Tiada yang lebih berkuasa kini selain uang. Orang-orang kini menempatkan uang di atas segalanya. Ungkapan yang menyebut uang di masa sekarang menjadi raja ada benarnya.

Dalam pemahaman ilmuwan modern, keadaan itu disebut sebagai materialistis. Materi, terutama uang, mendapatkan posisi mahapenting dalam kehidupan manusia. Materialisme kemudian melahirkan perilaku hidup konsumtif.

Orang Bali pun kini tak luput dari pengaruh zaman uang tersebut. Budaya materialistis dan gaya hidup konsumtif kian terasa kuat dalam kehidupan masyarakat Bali.

Jika dicermati, Bali memiliki cukup banyak konsep, ajaran dan hari suci yang fungsinya untuk mengingatkan manusia agar tidak gila terhadap uang. Salah satu tradisi itu, perayaan hari Buda Wage Kelawu atau Buda Cemeng Kelawu yang jatuh saban Buda Wage wuku Kelawu. Hari raya itu kini bakal dirayakan manusia Bali pada Rabu (19/2) hari ini.

Awam memang memaknai Buda Cemeng Kelawu sebagai hari piodalan pipis. Namun, sejatinya Buda Cemeng Kelawu memiliki makna yang lebih dari sekadar piodalan pipis. Buda Cemeng Kelawu dapat disamakan dengan hari keuangan ala Bali. Pada Buda Cemeng Kelawu orang Bali diingatkan tentang hakikat uang dalam kehidupan.

Menarik dari perayaan hari suci Buda Cemeng Kelawu di kalangan orang Bali awam yakni adanya keyakinan mengenai pantangan untuk bertransaksi menggunakan uang. Di sejumlah daerah juga disebutkan saat Buda Cemeng Kelawu dipantangkan untuk membayar atau menagih utang-piutang atau pun memberikan/menyedekahkan beras kepada orang lain.

Bagi orang yang hidup dalam tradisi modern, pantangan semacam ini tentu saja sulit untuk diterima. Dinamika perekonomian masyarakat yang begitu tinggi membuat tidak mungkin untuk menghentikan transaksi menggunakan uang dalam sehari. Menghentikan transaksi berarti juga menghentikan kegiatan ekonomi. Berhentinya kegiatan ekonomi berarti kerugian.

Namun, pantangan bertransaksi menggunakan uang dan alat pembayaran sejenisnya di hari Buda Cemeng Kelawu mesti dimaknai sebagai sebuah kearifan lokal Bali dalam memandang arti dan makna uang. Orang Bali menyadari uang merupakan sesuatu yang telah menempati posisi sangat penting dalam kehidupan masyarakat saat ini. Terlebih lagi di masa serbaparadoks kini. Seperti disuratkan dalam Nitisastra, di zaman Kaliyuga yang menang adalah ia yang memiliki uang. Dengan uang, orang kini bisa melakukan apa saja untuk memuaskan keinginannya. Mulai dari membeli mobil terbaru, rumah mewah hingga membeli jabatan tinggi.

Karena begitu berkuasanya uang di zaman Kaliyuga, orang Bali senantiasa diingatkan untuk bisa mengendalikan dirinya dalam memandang, memaknai, memperlakukan serta mencari uang. Saat Buda Cemeng Kelawu, orang Bali disadarkan betapa uang bukanlah segalanya, uang bukanlah dewa. Dengan membiarkan uang diam, tidak dibayarkan dan tidak beredar, orang Bali diingatkan tentang hakikat uang. Yang berkuasa atas segala dunia ini adalah Yang Maha Agung, Yang Mahasumber, Yang Maha Pencipta.

Dalam suatu kesempatan, budayawan I Wayan Geria menyatakan sepatutnya Bali bersyukur karena memiliki modal yang sangat penting dan kuat yakni budaya. Hanya saja, modal itu selama ini dimaknai sebagai benda semata. Inilah yang kemudian mendorong lahirnya budaya materilialisme dan gaya hidup konsumtif.

Modal sebagai budaya, nilai-nilai atau konsep-konsep hidup dilupakan. Diperparah lagi dengan pengaruh globalisasi, modal budaya itu semakin ditinggalkan. Globalisasi, menurut Geria, memang ditularkan melalui tiga hal penting yakni teknologi, media dan ideologi. Namun, teknologi, media dan ideologi juga dipahami sebagai benda semata, padahal lebih dari sekadar kebendaan.

“Ideologi misalnya, yang berkembang sekarang adalah ideologi pasar, ideologi uang. Semuanya diukur dengan uang,” kata mantan Dekan Fakultas Sastra Unud ini.

Hal itulah kemudian menyebabkan banyak orang kini berpikiran pragmatis atau instan. Masyarakat di lapisan bawah kini kebanyakan berpikir mudah dan cepat saja. Ketika membincang desa pakraman misalnya, yang terbayang dalam pikiran masyarakat Bali sekarang adalah seberapa besar bantuan yang diterima. Padahal, desa pakraman menyangkut hal-hal yang sangat esensial dalam pengembangan kebudayaan Bali, lebih dari sekadar bantuan material.

Para pemimpin atau tokoh-tokoh berpengaruh di Bali juga mengikuti irama itu. Tatkala hendak mencalonkan diri sebagai gubernur, bupati dan anggota dewan, kebanyakan yang menghambur-hamburkan uang, ke sana-ke mari membagi-bagi uang, memberi bantuan untuk mendapat dukungan rakyat. Ini tak pelak menyebabkan masyarakat semakin berpikir pragmatis, selalu berpikir bantuan dan bantuan. Sikap mandiri menjadi sulit terbangun.

“Semestinya lapisan menengah, seperti para ilmuwan, intelektual dan cerdik-cendikia yang mengembalikan keadaan dunia agar tidak semakin terseret ke dalam kubangan budaya materilistis, jzaman serbauang. Tapi sayangnya, kalangan ilmuwan, intelektual dan cerdik-cendikia kita juga ikut kena pengaruh gaya hidup materilistis, pragmatis,” kata Geria.

Kendati begitu, Geria menilai sikap optimistis harus terus dipupuk. Salah satu upaya untuk mencegah kian parahnya gaya hidup materlistis yakni semakin meningkatkan kualitas dunia pendidikan. Pasalnya, hanya dari pendidikanlah keadaan dunia bisa dibenahi. (Sumber: balisaja) kalenderbali

Tidak ada komentar:

Posting Komentar